SANTO YOHANES BOSCO
ST.
YOHANES BOSCO
Yesus & Bunda Maria
Memanggilnya Dalam Suatu Mimpi
Yohanes Bosco adalah
santo yang paling keren bagi kaum muda. Ia membaktikan seluruh hidupnya bagi
para remaja. Yohanes Bosco seorang yang peramah, suka bercanda, ahli sulap dan
akrobat. Ia sungguh amat menyenangkan, kamu pasti akan tertawa
terpingkal-pingkal jika bersamanya!
1. MASA
KECIL
2. MIMPI
YANG MENAKJUBKAN
3. AHLI
SULAP DAN AKROBAT
4. PERGI
DARI RUMAH
5. PERTANIAN
MOGLIA
6. SEKOLAH,
SEMINARI & LUIGI COMOLLO
7.
MENJADI IMAM
14. SERIKAT SALESIAN
18. PARA MISIONARIS
22. DON BOSCO WAFAT
1. MASA KECIL
Yohanes
Bosco dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1815, di Becchi, sebuah dusun
kecil di Castelnuovo d'Asti (sekarang namanya Castelnuovo Don Bosco), Italia.
Ayahnya, Francesco, seorang petani yang miskin. Francesco mempunyai tiga orang
putera: Antonio (dari isteri pertamanya yang telah meninggal dunia), Yusuf dan
Yohanes. Francesco meninggal dunia saat Yohanes baru berusia dua tahun.
Ibunya,
Margarita, dengan segala daya upaya dan kerja keras berusaha menghidupi
keluarganya. Namun demikian kerja keras dan kemiskinan tidak menghalangi
Margarita untuk senantiasa menceritakan kepada anak-anaknya segala kebaikan
Tuhan: siang dan malam, bunga-bunga dan bintang-bintang, “Oh, betapa indahnya
Tuhan menjadikan segala sesuatu untuk kita!”, kata mama Margarita. Diajarkannya
kepada Yohanes kecil bagaimana mengolah tanah dan bagaimana menemukan Tuhan
yang ada di surga yang indah melalui panen yang berlimpah dan melalui hujan
yang menyirami tumbuh-tumbuhan. Di gereja, Mama Margarita berdoa dengan
khusuk, ia mengajari anak-anaknya untuk melakukan hal yang sama. Bagi Yohanes,
berdoa berarti berbicara kepada Tuhan dengan kaki berlutut di atas lantai dapur,
berdoa juga berarti berpikir tentang-Nya ketika ia sedang duduk di atas
rerumputan sambil menatap ke arah surga. Dari ibunya, Yohanes belajar melihat
Tuhan dalam wajah sesama, yaitu mereka yang miskin, mereka yang sengsara,
mereka yang datang mengetuk rumah mereka sepanjang musim dingin, dan yang
kepada siapa Mama Margarita memberikan tumpangan, menyuguhkan sup hangat serta
membagikan makanan dari kemiskinan mereka.
2. MIMPI YANG MENAKJUBKAN
Pada
usia sembilan tahun untuk pertama kalinya Yohanes mendapat mimpi yang amat
menakjubkan yang menggambarkan keseluruhan hidupnya kelak. Dalam mimpinya
Yohanes sedang berada di lapangan yang luas. Ia melihat banyak sekali anak di
sana, ada yang tertawa, bermain dan ada pula yang bersumpah serapah. Yohanes
tidak suka anak-anak itu menghina Tuhan. Ia segera berlari untuk menghentikan
mereka sambil berteriak dan mengepalkan tinjunya.
Tampaklah
“Seorang yang Agung” berpakaian jubah putih dan wajah-Nya bersinar. Ia
memanggil Yohanes dengan namanya, memintanya agar tenang serta menasehatinya:
“Bukan
dengan kekerasan, tetapi dengan kelemahlembutan serta belas kasih, kamu akan
menjadikan mereka semua teman-temanmu. Beritahukanlah kepada mereka keburukan
dosa dan ganjaran kebajikan.”
“Tidak tahukah Engkau,”
bisik Yohanes kecil, “bahwa hal itu tidak mungkin?”
“Apa
yang tampaknya tidak mungkin bagimu, kamu akan menjadikannya mungkin jika saja
kamu melakukannya dengan ketulusan hati dan pengetahuan.”
“Di mana dan bagaimana
aku memperoleh pengetahuan?”
Aku
akan memberimu seorang Bunda, dengan bimbingan darinya saja seseorang akan
menjadi bijaksana, tanpa bimbingannya semua pengetahuan tidak ada gunanya.”
“Tetapi siapakah Engkau
yang berbicara seperti itu?”
“Aku
adalah Putera dari Surga. Ibumu telah mengajarkan kepadamu untuk menghormati-Ku
tiga kali sehari.”
“Ibuku
melarangku untuk berbicara dengan seseorang yang tidak aku kenal. Katakanlah
siapa nama-Mu.”
“Tanyakan nama-Ku
kepada ibu-Ku.”
Kemudian,
tampaklah seorang wanita yang amat anggun. Ia mengenakan gaun panjang yang
berkilau-kilauan, seolah-olah jubahnya itu terbuat dari bintang-bintang yang
paling cemerlang. Wanita itu memberi isyarat kepada Yohanes untuk datang
mendekat kepadanya. Dengan lembut diraihnya tangan Yohanes, katanya,
"Lihatlah."
Gerombolan
anak-anak lenyap. Yang tampak oleh Yohanes sekarang ialah sekawanan binatang
buas: kambing liar, harimau, serigala, beruang….
“Inilah
tempat di mana kamu harus bekerja. Jadikan dirimu rendah hati, kuat dan penuh
semangat. Apa yang kamu lihat terjadi pada binatang-binatang buas ini, kamu
harus melakukannya kepada anak-anakku.”
Yohanes
melihat bahwa binatang-binatang buas itu kini telah berubah menjadi sekumpulan
besar anak domba yang jinak, berkerumun dan berdesak-desakan di sekitar Kedua
Tamu Agungnya. Melihat itu Yohanes menangis dan minta penjelasan dari Si Wanita
karena ia sama sekali tidak mengerti apa arti semua itu. Wanita itu membelainya
dan berkata:
“Kamu akan mengerti
semuanya jika waktunya telah tiba.”
Yohanes
terbangun dan ia tidak dapat tidur kembali.Tahun-tahun mendatang dalam hidupnya
telah dinyatakan dalam mimpi itu. Mama Margarita dan Yohanes percaya bahwa
mimpi itu adalah gambaran jalan hidup Yohanes kelak.
3. AHLI SULAP DAN AKROBAT
Sejak
itu Yohanes senantiasa berusaha berbuat baik kepada teman-temannya. Ketika terompet
pemain sirkus berbunyi untuk mengumumkan adanya pesta lokal di sebuah bukit di
dekat situ, Yohanes pergi dengan penuh semangat dan duduk di baris terdepan.
Rombongan sirkus itu menampilkan badut, sulap, permainan-permainan dan akrobat.
Yohanes memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mempelajari semua atraksi yang
ditampilkan.
Sepulangnya
dari pertunjukan sirkus, Yohanes mulai meniru atraksi-atraksi yang ditampilkan.
Ia gagal, tergelincir, jatuh dan badannya memar, tetapi tekadnya kuat. Ia
pantang menyerah, sebab pikirnya, "Jika mereka dapat melakukannya, mengapa
aku tidak?" Wah, pastilah malaikat pelindungnya menjadi sibuk sekali
mengawasi dia. Yohanes terus berlatih hingga suatu hari Minggu sore, ia
mempertunjukkan kebolehannya di hadapan anak-anak tetangga. Ia memperagakan
keseimbangan tubuh dengan wajan dan panci di ujung hidungnya. Kemudian ia
melompat ke atas tali yang direntangkan di antara dua pohon dan berjalan di
atasnya diiringi tepuk tangan penonton. Sebelum pertunjukan yang hebat itu diakhiri,
Yohanes mengulang khotbah yang ia dengar dalam Misa pagi kepada teman-temannya
itu, dan mengajak mereka semua berdoa.
Kabar
mengenai pertunjukan yang diselenggarakan Yohanes tersiar hingga ke desa-desa
tetangga. Karena pada masa itu jarang sekali ada pertunjukan semacam, segera
saja anak-anak yang bermil-mil jauhnya pun datang untuk menyaksikan
pertunjukannya. Jumlahnya hingga seratus anak lebih.
“Kita
akan memulainya dengan berdoa Rosaio, Peristiwa Mulia, untuk menghormati hari
Minggu.”
Anak-anak
itu mengeluh, tetapi mereka menurut. Setelah ia mengajak anak-anak menyanyikan
satu kidung bagi Bunda Maria, Yohanes berdiri di atas kursi dan mulai
menjelaskan isi Kitab Suci seperti yang didengarnya pada Misa pagi. Jika
seorang anak menolak untuk mendengarkan khotbahnya atau menolak berdoa, Yohanes
akan berkata: “Baiklah. Aku tidak akan mengadakan pertunjukan hari ini. Jika
kalian tidak berdoa, bisa saja aku terjatuh dan leherku patah.
Permainan
dan Sabda Tuhan mulai mengubah perilaku teman-temannya. Yohanes kecil mulai
menyadari bahwa agar dapat berbuat baik untuk sedemikian banyak anak, ia perlu
belajar dan menjadi seorang imam. Imam Castelnuovo melihat perkembangan iman
Yohanes yang luar biasa, hingga ia mengijinkan Yohanes menrima komuni dua tahun
lebih awal dari usia yang ditentukan Gereja.
4. PERGI DARI RUMAH
Seorang misionaris, Don
Calosso ('Don' dalam bahasa Italia berarti Pater), datang ke desa Buttigliera
untuk memberikan pelajaran agama. Yohanes memutuskan untuk mengikuti semua
pelajaran agama yang diberikan olehnya, baik pagi maupun sore. Itu berarti ia
harus berjalan kaki sejauh 10 (16 kilometer) mil sehari. Antonio menentang
keras keinginan Yohanes untuk belajar. Menurutnya sudah tiba waktunya bagi
Yohanes untuk bekerja. Oleh karena itu diambil keputusan: pagi hari Yohanes
belajar di pastoran dengan Don Calosso, sesudahnya ia harus bekerja di sawah.
Yohanes belajar dengan tekun. Ia membawa bukunya ke sawah dan belajar hingga
larut malam. Hal itu sangat menjengkelkan Antonio. Antonio, yang sekarang sudah
menjadi kepala keluarga, membuang semua buku-buku Yohanes dan mencambuki adik
tirinya itu dengan ikat pinggangnya.
Demi
keselamatan Yohanes, Mama Margarrita membuat suatu keputusan yang amat
menyedihkan hatinya sendiri, ia menyuruh Johanes pergi.
5. PERTANIAN MOGLIA
Di
suatu pagi yang dingin di bulan Februari 1827, Yohanes pergi menginggalkan
rumah dan berkelana untuk mencari pekerjaan. Usianya baru 12 tahun. Sungguh
sulit mencari pekerjaan di musim dingin, hanya pada musim panas saja pertanian
membutuhkan banyak tenaga kerja. Setiap kali Yohanes selalu di tolak. Hingga
tibalah ia di rumah Tn. Luigi Moglia, seorang petani kaya, dekat Moncucco.
“Pulanglah nak,” kata
petani itu. “Datanglah kembali pada Hari Raya Kabar Sukacita”
“Berbelas
kasihlah, ya Tuan,” Yohanes memohon, “Tuan tidak perlu membayarku satu sen pun,
aku tidak minta apa-apa….ijinkanlah aku tinggal!”
“Tidak mungkin.
Pergilah!”
“Tidak, Tuan. Aku akan
duduk di lantai sini dan tidak akan pergi.”
Yohanes
merasa amat perih hatinya dan menangis. Tergerak oleh belas kasihan, Yohanes
diterima bekerja sebagai penggembala sapi. Yohanes amat gembira dan bekerja
sebaik yang ia mampu. Ia menggembalakan sapi-sapinya di padang rumput, memerah
susu, menumpuk jerami di palungan, dan membajak sawah. “Mataku terbuka
lebar-lebar jika aku sedang bekerja, dan aku tidak berhenti sampai tiba saatnya
untuk tidur,” kenang Yohanes. Tanpa ibu dan saudara, tanpa teman di sampingnya,
Yohanes memusatkan diri sepenuhnya hanya kepada Tuhan Allah yang amat
dikasihinya.
Setiap
hari Minggu Yohanes pergi ke gereja untuk mengikuti Misa. Dengan ijin dari Don
Cottino, imam paroki setempat, Yohanes mengumpulkan anak-anak untuk bermain dan
berdoa seperti yang dulu ia lakukan di desanya.
6.
SEKOLAH,
SEMINARI & LUIGI COMOLLO
Tiga
tahun kemudian Antonio pindah ke dusun lain. Yohanes pulang kembali ke rumah
dan melanjutkan sekolahnya, pertama-tama di Castelnuovo dan kemudian di Chieri.
Guna membiayai pendidikannya, selain menerima sumbangan dari orang-orang yang
bersimpati padanya, Yohanes Bosco juga bekerja. Segala macam pekerjaan
dilakukannya: penjahit, tukang roti, tukang sepatu, tukang kayu, dan segala
macam pekerjaan yang dapat dikerjakannya.
Sebagai
pelajar, Yohanes seorang remaja yang pandai dan cerdas. Ia adalah murid terbaik
di antara semua murid sekolahnya. Ia mengumpulkan teman-temannya dan membentuk
suatu kelompok religius yang diberinya nama Kelompok Sukacita. Yohanes menjadi
penggerak utama bagi teman-temannya. Kepribadiannya terbuka, dinamis, vitalitas
hidupnya tinggi, kadang ia kurang sabar dan terbawa emosi. Sekali waktu ia
menekankan perbuatan baik, kebenaran serta keadilan bukan dengan
kelemahlembutan, tetapi justru dengan tinjunya.
Pada
suatu hari seorang guru datang terlambat ke kelas. Murid-murid menjadi ribut,
saling melempar buku dan kapur. Hanya seorang anak saja yang duduk dengan
tenang di bangkunya. Luigi Comollo seorang anak yang tenang dan pendiam hingga
Yohanes tidak pernah memperhatikannya.
“Ayo Luigi,” teriak
salah seorang anak yang paling nakal.
“Tidak, aku tidak mau
bermain, aku sedang mengerjakan sesuatu.”
“Datang, kataku!”
“Tidak.”
“Datang, atau kupukul
kau.”
“Pukullah jika kamu
mau.”
Dengan
jengkel anak nakal itu datang dan mendaratkan dua tinjunya ke wajah Luigi.
Luigi tidak membalasnya. Dengan suara yang amat tenang ia berkata,
“Puaskah kamu sekarang?
Aku memaafkan kamu. Sekarang biarkan aku sendiri.”
Penyerang
itu mundur dengan perasaan malu. Sikap Luigi yang amat tenang dan lembut itu
mengesankan Yohanes. Yohanes dan Luigi ibarat api dan air, seperti singa dan
anak domba. Yohanes mengagumi Luigi dan darinya ia belajar untuk menguasai diri
dan meredam kemarahannya. Sejak itu mereka bersahabat karib.
Setalah
tamat sekolahnya, pada usia dua puluh tahun, Yohanes Bosco mengambil keputusan
yang amat penting dalam hidupnya: ia masuk Seminari Chieri. Mama Margarita
menegaskan kepadanya untuk selalu setia kepada panggilannya, jika ia ragu-ragu
lebih baik diurungkannya saja niatnya itu daripada menjadi seorang imam yang
lalai dan acuh. Nasehat ibunya itu diingat dan dihormati oleh Yohanes sepanjang
hidupnya.
Tak
disangkanya, Luigi Comollo, menyusulnya beberapa bulan kemudian. Kepadanyalah,
Yohanes mengutarakan semua cita-cita dan rencananya. Luigi sendiri tidak
menyusun banyak rencana seperti Yohanes, ia merasa bahwa hidupnya akan segera
berakhir. Tak dikatakannya perasaannya itu kepada sahabatnya, tetapi mereka
berdua telah bersepakat: siapa pun yang terlebih dahulu meninggal dunia akan
memohon kepada Tuhan untuk memberi ijin memberitahukan kepada sahabatnya yang masih
di dunia bahwa ia telah masuk dalam kebahagiaan abadi.
Tahun
berikutnya, pada tanggal 2 April 1839, hari Kamis sesudah Paskah, Luigi
meninggal dunia karena demam. Yohanes amat berduka karena bagian dari dirinya
yang berharga telah pergi. Malam sesudah pemakaman dua puluh orang yang tidur
dalam satu kamar asrama dengan Yohanes terbangun karena suara yang aneh.
Seolah-olah sebuah kereta kuda, atau kereta api, sedang melaju di lorong,
kereta itu menerjang dan menghantam bagaikan gemuruh artileri, menyebabkan
lantai dan langit-langit berguncang, pintu kamar terbuka lebar-lebar dan
masuklah ke dalam ruangan mereka suatu sinar yang tiba-tiba bersinar amat
terang. Dan, dalam keheningan, banyak dari mereka yang mendengar suatu suara
yang lembut menyanyi dengan gembira. Tetapi hanya seorang saja yang mendengar
perkataan ini:
“Bosco, aku selamat.”
Sinar
menghilang dan pergi dengan cara yang sama seperti datangnya. Kemudian segala
sesuatunya berakhir. Yohanes dipenuhi dengan sukacita dan syukur.
"Menghindarlah dari teman-teman yang
jahat sama seperti kamu menghindar dari gigitan ular beracun. Jika
teman-temanmu baik, saya yakin bahwa suatu hari kelak kamu akan bersukacita
bersama para kudus di Surga; tetapi jika kumpulanmu jahat, kamu sendiri akan
menjadi jahat pula, dan kamu berada dalam bahaya kehilangan jiwamu." ~ St.
Yohanes Bosco
7.
MENJADI IMAM
Pada tanggal 5 Juni
1841, Uskup kota Turin mentahbiskan Yohanes Bosco menjadi seorang imam. Yohanes
merasa amat bahagia, demikian juga Mama Margarita. Anaknya yang dikasihinya
telah ditahbiskan untuk mempersembahkan Tubuh dan Darah Penyelamat-nya setiap
hari di altar. Waktu itu Yohanes hampir dua puluh enam tahun.
Setelah ditahbiskan Don Bosco bertugas di
kota Turin di bawah bimbingan seorang imam yang saleh, Don Cafasso. Keadaan anak-anak jalanan segera menyentuh
hatinya. Don Bosco menelusuri kota Turin dan menjadi sadar akan kondisi moral
kaum muda. Ia sangat terpukul. Daerah pinggiran kota adalah daerah yang penuh
dengan kekacauan, suatu tempat yang kumuh dan hancur akibat revolusi industri.
Karena tidak memiliki pekerjaan dan merasa gelisah para remaja itu menjadi
liar. Mereka menimbulkan kerusuhan di jalan-jalan.
Don Bosco melihat mereka bertaruh di
pojok-pojok jalan, wajah mereka keras dan kaku, seolah-olah hendak mencapai
segala keinginan mereka dengan jalan apa saja. Dekat dengan pasar kota, ia
menjumpai pasar dengan pekerja-pekerja remaja. Di daerah sekitar Porta Palazzo,
demikian ditulis oleh Don Bosco bertahun-tahun kemudian, berkerumun para
penjaja barang, penyemir sepatu, anak-anak pengurus kandang, berbagai macam
pedagang, pesuruh: semua kaum miskin papa yang dengan susah payah mencari penghidupannya
dari hari ke hari. Anak-anak itu, yang mondar-mandir di jalan-jalan kota
Turin, adalah korban dari dampak buruk revolusi industri. Masyarakat pedesaan
berbondong-bondong datang ke kota untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik,
akibatnya jumlah pengangguran di kota semakin tinggi menyebabkan semakin
meningkatnya jumlah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tetapi, hal yang paling menyentuh hati Don Bosco adalah ketika ia
mengunjungi penjara. Ia menulis demikian: Melihat begitu banyak anak, dari usia
12 hingga 18 tahun, semuanya dalam keadaan sehat, kuat, cerdas, digigiti
serangga, kekurangan makan baik makanan rohani maupun jasmani, sungguh sesuatu
yang amat mengerikan bagi saya. Menghadapi keadaan seperti itu Don Bosco
membuat suatu keputusan: Saya harus, dengan segala prasarana yang ada, mencegah
kehidupan para anak dan remaja itu berakhir di sini. Ada 16 gereja di Turin.
Para imam di sana menyadari masalah yang dihadapi kaum muda, tetapi yang mereka
kehendaki adalah agar anak-anak dan para remaja itu pergi ke gereja untuk
belajar agama. Para imam itu kurang menyadari bahwa cara pendekatan seperti itu
tidak akan membawa hasil. Perlu sekali dilakukan pendekatan baru, skema baru,
bentuk pewartaan yang baru, yaitu mendatangi anak-anak itu di toko-toko,
kantor-kantor dan pasar-pasar. Banyak imam muda yang mulai mengadakan
pendekatan semacam ini.
Don Bosco mendapatkan anaknya yang pertama
pada Hari Raya Santa Perawan Maria yang Dikandung Tanpa Dosa. Ia sedang
mengenakan jubahnya untuk mempersembahkan Misa di Gereja Convitto, ketika
seorang remaja jalanan berusia enam belas tahun melongok ke ruang sakristi.
“Apakah kamu datang untuk mengikuti Misa?” tanya Koster.
“Tidak, saya belum pernah ikut Misa.”
“Lalu, untuk apa kamu ke sini? Oh ya, kamu pastilah salah satu dari
anak-anak berandal yang suka mencuri itu ya. Ayo, cepat enyahlah dari sini!”
Koster mendorong anak itu ke luar, memukul
kepalanya dengan sapu dan membanting pintu sakristi tepat di hadapannya.
“Mengapa kamu memukul anak itu? Apakah
salahnya? Aku melarangmu untuk memperlakukan teman-temanku seperti itu,” kata
Don Bosco. Kemudian dengan penuh kasih diulurkannya tangannya kepada remaja
yang menangis itu, “Mari, masuklah, kawan.”
Hari Minggu berikutnya, Bartolomeo Garelli
membawa enam anak lain bersamanya. Mereka semua acak-acakan, kotor dan dekil
serta liar, tetapi mereka bersedia belajar agama. Tiga bulan kemudian
jumlah anak-anak menjadi dua puluh lima dan pada musim panas delapan puluh anak
hingga akhirnya jumlahnya mencapai seratus anak. Mereka itu adalah kuli
jalanan, pemecah batu, tukang batu, tukang plester yang datang dari
daerah-daerah yang jauh. Dari sanalah terbentuk kelompok kaum muda yang oleh
Don Bosco disebut Oratorio.
Mereka semua bertemu pada hari Minggu.
Mereka ikut ambil bagian dalam perayaan Misa, belajar agama dan bermain
bersama. Kegiatan kelompok Oratorio tidak dibatasi pada hari Minggu saja.
Bagi Don Bosco, Oratorio adalah hidupnya. Ia mencarikan pekerjaan bagi
anak-anak yang belum memperoleh pekerjaan dan ia mengajar anak-anak itu setelah
mereka selesai bekerja. Jumlah mereka bertambah dan bertambah terus hingga
mencapai empat ratus orang.
“Apakah kamu mau menjadi sahabat Don
Bosco?” demikian ia akan bertanya kepada setiap anak baru yang datang
kepadanya.
“Ya, sungguh?” tanyanya dengan gembira.
“Kalau begitu, kamu harus membantuku untuk menyelamatkan jiwamu.”
Setiap malam Don Bosco menghendaki agar
anak-anak itu mendaraskan tiga kali Salam Maria, mohon agar Bunda Maria
membantu mereka untuk menjauhkan diri dari dosa. Ia juga mendorong mereka untuk
menerima Sakramen Rekonsiliasi dan Komuni Kudus sesering mungkin dan dengan
penuh cinta.
Tuhan memberkati semua usaha Don Bosco dan
memberikan karunia mukjizat kepadanya. Segala karunia mukjizat itu memperkuat
bakat-bakat alaminya guna mendukung serta membimbingnya. Hanya dengan campur
tangan Allah saja segala karunia dan bakat-bakatnya itu dapat bekerja
sebaik-baiknya untuk mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.
Berbagai macam halangan dan rintangan
menghadang Don Bosco. Ia membutuhkan dana untuk Kelompok Oratorio-nya. Ia
membutuhkan tempat yang cukup luas bagi keempat ratus anak itu untuk berdoa,
belajar dan bermain. Sampai saat itu kemana pun mereka pergi, mereka selalu
diusir. Empat ratus anak berandal berkeliaran, bernyanyi, bermain bola sambil
berteriak-teriak sungguh merupakan gangguan bagi penduduk sekitarnya.
Imam-imam yang lain pun menganggap Don
Bosco sudah menyimpang dari misinya. Dengan empat ratus anak kasar dan liar
yang selalu mengikutinya, ia dianggap sudah tidak waras lagi. Oleh karena itu,
dua orang imam mencoba membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka datang dengan
kereta kuda dan berusaha menjebak Don Bosco untuk ikut bersama mereka. Dengan
halus Don Bosco mempersilakan mereka masuk terlebih dahulu. Ketika kedua imam
itu telah berada di dalam kereta kuda, ia segera membanting pintunya dan
berteriak kepada pak kusir:
"Ke rumah sakit jiwa, cepat! Mereka ditunggu!”
Pak kusir melarikan keretanya
sekencang-kencangnya. Kedua imam itu demikian marahnya, hingga ketika tiba di
rumah sakit jiwa, para petugas mengira bahwa merekalah yang memerlukan
perawatan.
Halangan dan rintangan datang
bertubi-tubi, tetapi Don Bosco memperoleh dorongan serta semangat melalui
mimpi-mimpinya. Dalam salah satu mimpinya, Bunda Maria membawanya ke suatu
taman yang indah. Pohon-pohon mawar yang indah memenuhi taman dengan
bunga-bunganya yang indah serta baunya yang harum. Ia disuruh melepaskan
sepatunya dan berjalan di jalan setapak yang kecil melewati pohon-pohon mawar.
Baru beberapa langkah saja kakinya yang telanjang telah tergores-gores dan
berdarah terkena duri-duri pohon mawar. Ketika ia mengatakan bahwa ia harus
mengenakan sepatunya, Bunda Maria menyuruhnya mengenakan sepatu yang kuat.
Sementara ia melangkah lagi untuk kedua kalinya, ia disertai oleh
penolong-penolong. Tetapi dinding taman merapat ke arahnya, langit-langitnya
turun ke bawah dan pohon-pohon mawar itu menjalar hingga ke jalan
setapak. Seluruh tubuhnya terluka terkena duri. Dicobanya menyingkirkan mereka
tetapi hanya luka-luka baru yang didapatkannya, segera saja ia terjerat dalam
duri-duri itu. Namun mereka yang melihatnya berkata, “Betapa beruntungnya Don
Bosco! Jalannya senantiasa penuh dengan bunga-bunga mawar! Ia tidak khawatir
mengenai apa pun juga di dunia ini. Tidak punya masalah sama sekali!” Banyak
penolongnya yang mengira bahwa perjalanan mereka akan mudah, menjadi kecewa dan
pulang kembali, tetapi beberapa tetap tinggal bersamanya. Pada akhirnya ia
memanjat pohon-pohon mawar yang berduri itu dan menemukan taman lain yang jauh
lebih indah. Angin sepoi-sepoi membelai kulitnya yang tercabik-cabik dan
menyembuhkan luka-lukanya.
Don Bosco menafsirkannya sebagai berikut:
jalan setapak itu ialah misinya, bunga-bunga mawar adalah pengabdiannya kepada
anak-anak dan para remaja, duri-duri ialah hambatan, rintangan dan kegagalan
yang akan menghalangi jalannya. Pesan mimpi itu amat jelas bagi Don Bosco: ia
harus terus maju, berpegang teguh pada Tuhan dan misinya, maka ia akan tiba di
tempat yang telah disediakan untuknya.
Yohanes menyewa Graha Pinardi di Voldocco,
sebuah rumah yang tidak terpakai yang terletak di daerah terpencil. Bangunan
itu rendah, lembab, dengan dindingnya retak-retak dan atapnya berjamur. Don
Bosco menjadikan ruang depannya sebagai kapel sederhana sekaligus ruang
belajar. Pada pintunya Don Bosco memakukan pesan kebanggaan yang dalam salah
satu mimpinya dilihatnya Bunda Maria menelusurkan jarinya atas papan
institutnya kelak:
Haec est Domus Mea; Inde Gloria Mea.
Inilah Rumah-Ku: darinyalah Kemuliaan-Ku akan terpancar.
Jadi, pada akhirnya, tepatnya pada Pesta
Paskah 12 April 1846 Kelompok Oratorio memiliki gereja mereka sendiri!
Pada tanggal 3 November tahun itu, Don
Bosco memutuskan untuk tinggal di Valdocco. Ia meminta Mama Margarita yang
telah berusia 59 tahun, meninggalkan rumahnya di Becchi untuk mengurus rumah
tangga dan menjadi ibu bagi anak-anak asuhnya. Mama Margarita menjual cincin
kawinnya, anting-antingnya, kalungnya, barang-barang yang selama ini amat
berharga dan disayanginya, agar dapat membayar sewa rumah, biaya keperluan
rumah tangga dan menyediakan makanan bagi anak-anak yang datang kepadanya.
Pada suatu hari Don Bosco bertemu dengan
anak-anak berandal yang hendak mengancamnya. Ia mentraktir mereka minum,
bercanda dengan mereka dan mendengarkan cerita-cerita mereka.
“Dan sekarang pulanglah. Selamat malam.”
“Pulang kemana, Pater? Kami tidak mempunyai tempat tinggal.”
“Tidak seorang pun dari kalian yang mempunyai tempat tinggal?”
“Tidak, Pater.”
“Baiklah. Mari menumpang di rumahku.”
Mereka pulang dan tidur di rumah Don
Bosco. Keesokan harinya ketika hendak menawarkan sarapan bagi tamu-tamunya, Don
Bosco mendapati bahwa anak-anak berandal itu telah pergi dengan membawa semua
seprei dan selimutnya.
Pada bulan Mei 1847 Mama Margarita memberi
tumpangan kepada seorang remaja dari Valesia. Menyusul anak dari Valesia itu,
anak-anak yang lain ikut tinggal bersama Don Bosco hingga jumlahnya mencapai 30
anak. Tuhan memberkati semua karya dan usaha Don Bosco.
Pada tahun 1851, sebuah kapel St. Fransiskus de Sales didirikan dekat
dengan Graha Pinardi yang sekarang telah menjadi milik Don Bosco.
Bangunan-bangunan tersebut merupakan bangunan awal dari Institut St. Fransiskus
de Sales.
Revolusi Perancis telah menyebar ke Eropa.
Rakyat mulai beralih pada pemikiran tentang kebesasan: kebebasan pribadi,
kebebasan bernegara, kebebasan dari adat-istiadat, kebebasan dari gereja.
Ketika Tuhan dan gereja mulai ditentang bahkan dihujat, Don Bosco menggunakan
segala daya upaya untuk menentang mereka. Khotbah-khotbahnya dan
tulisan-tulisannya, semuanya itu menghambat usaha musuh-musuhnya dan amat
menjengkelkan mereka. Peluru ditembakkan lewat jendela kapel, minuman beracun,
api dan berbagai macam usaha dilakukan untuk merenggut nyawanya, tetapi Don
Bosco selamat.
Pada suatu sore di musim gugur tahun 1852,
Don Bosco sedang dalam perjalanan pulang seorang diri melewati daerah yang
kotor dan menyeramkan. Seekor anjing membuntutinya dari belakang, seekor anjing
yang amat besar mirip serigala. Don Bosco menyapanya. Anjing itu menanggapi
perhatian Don Bosco dan berjalan disampingnya, menemaninya sepanjang perjalanan
hingga Don Bosco tiba dengan selamat di depan pintu rumahnya. Anjing itu kemudian
berbalik dan segera pergi. Di kali lain, anjing itu muncul kembali, menemaninya
hingga tiba di depan pintu rumah, kemudian berbalik dan segera pergi. Kejadian
itu berulang sekali, dua kali, sepuluh kali, hingga jika Don Bosco pulang larut
malam sendirian ia dapat yakin bahwa anjing itu akan datang untuk menemaninya.
Don Bosco menamainya Grigio, artinya abu-abu.
Don Bosco senang dengan kehadiran Grigio.
Suatu ketika tembakan di arahkan kepadanya dan Grigio menyelamatkannya. Dua
orang berusaha melemparkan sebuah buntalan besar ke arah kepala Don Bosco dan
Grigio menyelamatkannya. Dua belas orang datang untuk menyerang Don Bosco dan
Grigio menyelamatkannya pula.
Kadang-kadang Grigio mampir ke rumah Don
Bosco. Ia menolak makanan maupun minuman. Anak-anak kecil bermain-main
dengannya dan Grigio amat jinak terhadap mereka. Tetapi ia tak pernah datang
tanpa alasan. Sekali waktu ia datang untuk memastikan bahwa Don Bosco sudah
tiba di rumah, jika Don Bosco naik kereta kuda. Sekali waktu ia datang untuk
mencegah Don Bosco pergi. Ia berbaring di ambang pintu dan menghalangi jalan
keluar. Ketika Don Bosco menyuruhnya pergi, ia akan menggeram bahkan ia tidak
akan segan-segan menggigit tuannya itu jika Don Bosco bersikeras. Keesokan
harinya barulah Don Bosco tahu bahwa sore itu musuh-musuhnya telah menyiapkan
perangkap untuk merenggut nyawanya. Ketika keadaan sudah aman, Grigio tidak
pernah muncul kembali.
Sepuluh tahun kemudian, Don Bosco hendak
mengunjungi keluarga Moglia. Ia telah diperingatkan untuk berhati-hati karena
perjalanan ke sana tidak aman.
“Oh, andaikan saja Grigio ada di sini!” gumam Don Bosco
Malam telah larut. Seekor anjing berlari-lari datang ke arahnya,
melompat-lompat dan mengibas-ngibaskan ekornya dengan gembira. Tentu saja,
anjing itu Grigio. Ia menemani Don Bosco hingga selamat tiba di tempat
pertanian, lalu menghilang.
Pada tahun 1883 - 31 tahun sejak ia hadir
pertama kalinya, Grigio muncul kembali di Bordighera untuk menunjukkan jalan
kepada Don Bosco yang sedang tersesat. Don Bosco yakin bahwa Grigio adalah
utusan dari surga.
"Pendidikan adalah sesuatu yang berasal
dari hati, dan Tuhan sendirilah yang empunya hati; kita tidak akan dapat
berhasil dalam segala sesuatu kecuali jika Tuhan memberikan kepada kita kunci
hati anak-anak tersebut." ~ St. Yohanes Bosco
13.
MENGGANDAKAN ROTI DAN MEMBANGKITKAN ORANG MATI
Pada suatu hari ketiga ratus anak Oratorio
sedang antri untuk mendapatkan roti. Tunggakan roti sudah menumpuk dan tukang
roti tidak mau lagi mengirim roti sampai hutang tersebut dilunasi. Don Bosco
meminta agar dibawakan kepadanya roti apa pun yang masih tersisa. Mereka
mengumpulkan lima belas potong roti saja. Don Bosco memasukkan tangannya ke
dalam keranjang roti dan mulai membagi-bagikan roti kepada ketigaratus
muridnya. Ketika semua anak telah mendapat bagian, masih tersisa lima belas
potong roti dalam keranjang!
Don Bosco juga menggandakan kenari,
menggandakan Hosti Kudus, dan membangkitkan seorang anak dari mati. orangtuanya
membawa jenasah anak itu ke hadapan Don Bosco. Sama seperti Yesus, ia pun
mengatakan, “Anakmu sedang tidur.” Mereka meninggalkan Don Bosco sendirian
bersama dengan jenasah anak itu.
“Charles, Charles, bangunlah!”
Don Bosco membuka kain yang menutupinya. Anak itu pun membuka matanya.
“Oh, engkaukah itu, Don Bosco. Telah lama
aku memanggil-manggilmu. Aku merasa seperti jatuh ke neraka karena dosa yang
belum aku akukan. Aku hanya mau mengaku dosaku kepadamu. Seorang wanita yang
amat cantik mengusir setan-setan itu dan berkata, 'Lepaskan dia, ia belum diadili.'
Maka aku dibebaskan dan engkau datang.”
Charles mengakukan dosanya dan hidup
selama dua jam lagi. Kemudian Don Bosco bertanya kepadanya:
“Manakah yang kamu pilih: tinggal di dunia atau pergi ke Surga?”
“Ke Surga, Don Bosco!”
“Kalau demikian, selamat jumpa, anakku.”
14.
SERIKAT SALESIAN
Don Bosco menyadari betapa bahayanya
membiarkan anak-anak asuhnya itu pergi ke kota untuk kerja magang (bekerja
untuk belajar suatu keahlian). Don Bosco menetapkan Kontrak Kerja Magang bagi
mereka. Kontrak-kontraknya itu termasuk yang pertama ada di Turin. Semuanya
ditandatangani oleh majikan, murid yang magang dan Don Bosco. Dalam kontrak itu
Don Bosco menetapkan pokok-pokok yang dianggap memberatkan pihak majikan.
Beberapa majikan menjadikan murid magang sebagai pelayan dan budak. Don Bosco
mewajibkan para majikan untuk mempekerjakan para murid hanya di bidang yang
dipelajari mereka. Para majikan biasa memukul anak-anak. Don Bosco menetapkan
bahwa teguran hanya boleh dilakukan melalui kata-kata. Ia memperhatikan kesehatan
anak-anak, karenanya meminta agar anak-anak diberi istirahat pada hari-hari
libur dan diberi cuti tahunan. Bertentangan dengan segala usaha dan
kontrak-kontrak yang dibuat, kondisi kerja magang masa itu tetap
memprihatinkan.
Oleh karena itu Don Bosco mulai membentuk
bengkel-bengkel sendiri di Valdocco: tukang sepatu, tukang jahit, tukang kayu,
tukang kunci, penjilidan buku dan percetakan. Don Bosco menguasai semua bidang
itu, ia memberikan nasehat dan pelajaran bagi anak-anak. Dengan demikian anak-anak
telah siap dan matang ketika mereka bekerja di luar.
Di samping itu Don Bosco memberikan
pelajaran khusus bagi mereka yang berminat untuk mengikuti jejaknya. Melalui
mimpinya Don Bosco mengetahui anak-anak mana yang akan meninggalkannya dan
anak-anak mana yang akan tetap bersamanya. Ia bahkan mengetahui masa depan
anak-anaknya, misalnya saja Giovanni Cagliero dari Castelnuovo d'Asti kelak
akan menjadi seorang Kardinal, Michael Rua kelak akan menjadi penerusnya. Sore
hari tanggal 6 Januari 1854 ia mengumpulkan mereka dan menyampaikan pesan
berikut:
"Sahabat-sahabatku terkasih, selama
Novena menyambut pesta santo pelindung kita, St. Fransiskus de
Sales, saya menganjurkan kepada kalian untuk sejak hari ini, dengan
pertolongan Tuhan, mengamalkan belas kasih kepada sesama. Setelah masa ini
berakhir, kalian diperkenankan mengikat diri dengan suatu janji, dan sesudahnya
dengan suatu sumpah. Mulai sore hari ini kita menyebut diri kita Salesian.”
15.
SANTA PERAWAN MARIA PERTOLONGAN ORANG KRISTEN
Mama Margarita semakin tua dan semakin
sibuk. Sekarang jumlah anak yang harus diasuhnya berjumlah seratus lima puluh
orang. Beberapa wanita saleh datang membantu Mama Margarita. Pada musim dingin
tahun 1856 Mama Margarita terserang pneumonia. Ia terbaring di tempat tidur
selama satu minggu dan pada akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kepergiannya amat menyedihkan hati Don Bosco serta semua anak-anak asuhnya.
“Bunda Penghibur orang-orang berduka,”
keluh Don Bosco,”engkau tahu bahwa sekarang aku sudah tidak mempunyai seorang
ibu …. Padahal aku mempunyai demikian banyak anak. Bersediakah engkau menjadi
pengganti ibuku? Jagalah anak-anakku, ya Bunda Maria!”
Seringkali ketika Don Bosco memasuki
Oratorionya, ia melihat Bunda Maria mengenakan mahkota dari bintang-bintang
yang cemerlang berdiri di atas sebuah gereja yang besar. Melihat Bunda Maria di
sana, Don Bosco akan berteriak kepada anak-anak:
“Tidakkah kamu melihatnya. Ia ada di atas
kubah. Bunda Pertolongan Orang-orang Kristen, dengan mahkotanya dari
bintang-bintang?"
Tetapi mereka tidak melihat apa-apa
kecuali langit: tidak ada kubah, tidak ada Bunda Maria.
Don Bosco harus menunggu beberapa tahun
ketika pada akhirnya sebuah gereja besar dibangun untuk dipersembahkan kepada
Bunda Maria. Di atas kubah gereja ditempatkan patung Santa Perawan Maria
Pertolongan Orang Kristen, persis seperti yang dilihatnya dalam penglihatan.
16.
GANGGUAN PARA SETAN
Di usianya yang keempat puluh tahun, Don
Bosco menderita pemekaran pembuluh darah di kakinya. Tahun 1856 mata kanannya
terkena musibah hingga hampir buta. Sakit kepala, demam, rematik, muntah darah
dan berbagai macam penyakit lainnya.
Awal tahun 1862 setan mulai mengganggu
waktu tidurnya yang amat sempit itu dengan cara yang sangat aneh dan tak
tertahankan. Suara ribut dan gaduh, badai mengamuk, derap prajurit, suara kapak
menghantam kayu tak henti-henti, perabotan menari-nari secara ajaib. Tempat
tidurnya diguncang-guncang dan dibalikkan, kain seprei terkoyak-koyak,
lidah-lidah api berlompatan dari perapian yang mati. Setan duduk di atasnya,
mencengkeram pundaknya dan menyeretnya, menyapukan sikat es ke wajahnya,
menginjak-injaknya, melepaskan binatang-binatang liar: beruang, harimau, ular,
monster. Anak-anak asuhnya yang setia menjaga di pintu kamarnya, tetapi
sebentar saja mereka akan menjadi panik dan lari. Keesokan harinya mereka
bertanya:
“Tak dapatkah Pater mengusirnya?”
“Jika aku mengusirnya, setan-setan itu akan mengganggu kalian.”
“Pater tidak bertanya pada mereka, apa maunya?”
“Tidak penting... Berdoa sajalah.”
Anak-anak berdoa dengan sungguh-sunguh.
Dua tahun gangguan para setan itu dideritanya sebelum pada akhirnya musuh-musuhnya
itu menyerah.
17.
KONGGREGASI PUTERI-PUTERI MARIA PERTOLONGAN ORANG
KRISTEN
Pada tahun 1856 seorang imam, Don
Pestarino, membentuk sebuah kelompok di bawah perlindungan Santa Perawan Maria
yang Dikandung Tanpa Dosa. Kelompok tersebut beranggotakan para gadis yang
bersedia melayani Tuhan. Salah seorang di antara mereka ialah Maria Dominica
Mazzarello. Dengan salah seorang temannya Maria membentuk kelompok kecil di
mana anak-anak perempuan, sebagian besar diantaranya yatim piatu, belajar menjahit,
membaca, menulis dan berdoa. Gadis-gadis yang lebih besar pun mulai bergabung
dengan mereka dan tinggal sebagai suatu komunitas. Mereka mencontoh apa yang
dilakukan Don Bosco dengan kelompok Oratorio-nya. Don Bosco mendengar juga
tentang kegiatan mereka, tetapi ia kurang peduli.
Suatu malam ia bermimpi. Ia sedang
menyusuri jalan kota Turin ketika tiba-tiba ia dikelilingi oleh banyak sekali
anak perempuan. Mereka melompat, berlari, berteriak, mereka sama nakal dan sama
liarnya dengan anak laki-laki. Mereka mengenali Don Bosco, menyambutnya dan
memohon kepadanya:
“Peliharalah kami, Don Bosco.”
Don Bosco berusaha menyuruh mereka pergi.
“Jangan acuhkan kami,” pinta mereka.
Don Bosco tergerak hatinya oleh belas
kasihan, “Tidak ada yang dapat kulakukan untuk kalian. Percayalah pada
Penyelenggaraan Tuhan.”
Tetapi anak-anak perempuan yang lebih besar mendesak:
“Jika demikian, apakah kami harus menyusuri jalan-jalan mengharapkan belas
kasihan?”
Don Bosco ragu-ragu. Tiba-tiba Bunda Maria
berdiri di hadapannya dan berkata dengan lembut:
“Mereka ini juga anak-anakku. Ambillah. Aku memberikannya kepadamu.”
Don Bosco menemui Don Pestarino. Mereka
sepakat untuk menjadikan komunitas kecil Maria Dominica Mazzarello menjadi
suatu konggregasi. Demikianlah, pada tanggal 5 Agustus 1872 Uskup meresmikan
Konggregasi Puteri-Puteri Maria Pertolongan Orang Kristen dengan Maria
Mazzarello sebagai Priorin (Latin, jabatan pemimpin rumah biara). Rumah biara
tersebut berhadapan dengan Institut Salesian.
Pada tahun 1876 Don Bosco juga membentuk Serikat Salesian Awam yang
beranggotakan kaum awam yang bersedia membantu Salesian dengan mencurahkan
segala perhatian, waktu dan dana mereka. Serikat Salesian dan Serikat Salesian
Awam saling berbagi karya, doa dan berkat.
18.
PARA MISIONARIS
Pada tahun 1861 Don Bosco mendapat mimpi.
Ia melihat suatu taman kota dengan sebuah roda raksasa di tengah-tengah taman.
Suatu makhluk misterius, mungkin seorang malaikat, mulai memutar roda tersebut.
Setiap putaran mewakili sepuluh tahun karya hidupnya. Roda yang berputar itu
menimbulkan suara bising. Namun demikian pada putaran pertama, hanya Don Bosco
saja yang mendengar suaranya. Pada putaran kedua seluruh kota mendengarnya,
pada putaran ketiga seluruh Italia mendengarnya, pada putaran keempat seluruh
Eropa mendengarnya, dan pada putaran kelima seluruh dunia mendengarnya.
Mimpi tersebut ditegaskan dengan suatu
mimpi lain pada tahun 1872. Ia melihat suatu padang gurun yang amat luas.
Penduduknya hampir telanjang, berbadan besar dengan muka yang kaku, warna
kulitnya gelap, jubah panjang dari kulit di punggungnya, rambutnya ditata aneh,
dengan seutas jerat dan semacam lembing yang panjang di tangannya. Mereka
berburu binatang liar, berkelahi satu sama lain dan berperang dengan prajurit
Eropa. Padang itu segera dipenuhi dengan mayat-mayat bergelimpangan. Tiba-tiba
ia melihat datangnya serombongan misionaris dari berbagai macam ordo.
Orang-orang liar itu membunuh mereka. Kemudian datang lagi serombongan
misionaris muda yang dengan sukacita siap sedia menjadi martir. Don Bosco
terperanjat karena mereka adalah Serikat Salesian. Imam-imam muda itu
merentangkan tangannya sambil tersenyum. Don Bosco ingin menghentikan mereka
dan menyuruh mereka segera melarikan diri, tetapi kasih dan sukacita imam-imam
Salesian mempesona orang-orang liar itu. Mereka menjatuhkan senjata mereka dan
menyambut para misionaris. Para imam muda duduk di tengah-tengah mereka,
berbicara dengan mereka dan mempertobatkan mereka. Mereka berdoa Rosario serta
menyanyikan lagu pujian bagi Bunda Maria.
Pada tahun 1874 Uskup Agung Buenos Aires
meminta Don Bosco untuk mewartakan Injil di Tierra del Fuego. Ia tidak ragu
sedikit pun. Ia sudah tahu siapa yang hendak diutusnya menjadi kepala
misionaris di sana. Ia ingat akan suatu penampakan dua puluh tahun yang silam.
Saat itu Cagliero, salah satu anaknya yang terbaik, sakit keras hingga hampir
meninggal. Don Bosco takut kehilangan dia, seperti dia kehilangan Dominikus Savio, salah seorang muridnya yang
wafat pada usia 14 tahun dan telah diangkat menjadi santo. Don Bosco amat
memikirkan kondisi Cagliero yang semakin memburuk hingga ia melihat dekat
tempat tidur di mana anak itu terbaring: suatu suku berkulit merah, di antara
mereka juga terdapat dua pejuang raksasa, membungkuk dengan hormat kepada anak
itu. Seekor burung merpati terbang dengan ranting zaitun di paruhnya,
melayang-layang di atas Cagliero, lalu menjatuhkan ranting zaitunnya ke atas
tempat tidurnya dan terbang pergi. Kata Don Bosco kepadanya:
“Kamu tidak akan meninggal, nak. Kamu akan
menjadi seorang imam dan kamu akan pergi ke suatu tempat yang jauh, sangat
jauh.”
Pada tanggal 11 November 1875, rombongan
misionaris Don Bosco yang pertama dipersiapkan, terdiri dari empat imam dan
enam awam dipimpin oleh Don Cagliero.
“Kalian adalah rombongan yang kecil.
Kalian akan akan mencari jiwa-jiwa, bukan harta benda atau kehormatan. Biarlah
dunia tahu bahwa kalian miskin dalam sandang, pangan dan papan, tetapi kalian
kaya di hadapan Tuhan dan berkuasa atas jiwa-jiwa. Lakukan yang terbaik, Tuhan
dan Bunda Maria akan menyempurnakan karya kalian.”
Tahun berikutnya Don Bosco melihat dalam
suatu mimpi rombongan-rombongan lain yang lebih besar, lebih bersemangat di
antara penduduk dari berbagai macam bangsa: Brazil dan Paraguay, Kongo, India,
Siam, Cina serta Jepang. Kemudian ia melihat putaran roda berakhir.
Don Bosco membangun gereja-gereja, St.
Yohanes Penginjil di Turin, Basilika Hati Kudus di Roma, lebih banyak
sekolah-sekolah serta rumah-rumah Salesian.
19.
"AKU TIDAK KUASA MELAKUKAN APAPUN"
“Jangan minta padaku,” jawab Don Bosco,
“berdoalah kepada SP Maria Pertolongan Orang Kristen.”
Bunda Maria, dan bukannya Don Bosco, yang
menyembuhkan wanita yang lumpuh itu. Orang-orang mengusung wanita itu ke depan
gereja. Begitu melihat Don Bosco, ia lupa akan lumpuhnya dan segera meloncat
mendapatkan Don Bosco.
Bunda Maria, dan bukannya Don Bosco, yang
memulihkan penglihatan anak perempuan yang putus asa di ruang Sakristi
Oratorio. Perlahan-lahan ia mulai mengenali medali Bunda Maria yang diulurkan
oleh Don Bosco, ketika tiba-tiba Don Bosco menjatuhkan medalinya, dan anak itu
tanpa ragu segera memungutnya .
Bunda Maria juga yang membuat dokter yang
tidak percaya itu bertekuk lutut dan memohon kepada Bunda Maria agar
menyembuhkannya. Bunda Maria segera menyembuhkan jiwa sekaligus raganya.
Bunda Maria juga yang membuat Opsir
Jenderal yang sedang sekarat itu berdiri tegak dalam antrian untuk menerima
Komuni. “Aku tidak punya waktu,” kata Don Bosco ketika keluarganya meminta Don
Bosco memberikan Komuni Terakhir. “Ia akan menerima-Nya besok.”
Demikian juga, Bunda Maria yang
menyembuhkan Paul, anak kecil yang sedang sekarat itu. Don Bosco hanya
mengalungkan medali St. Perawan Maria Pertolongan Orang Kristen ke lehernya.
“Hidup Don Bosco! Hidup santo kita!” begitu orang-orang meneriakinya di
jalan.
Baiklah, jika mereka senang melakukan hal
seperti itu, terserah saja. Don Bosco tidak menjadi lebih gembira atau pun
bangga dengan seruan-seruan seperti itu, sebab ia tahu dengan pasti bahwa ia
tidak kuasa melakukan apa pun.
20.
MIMPI DAN PENGLIHATANNYA
Bapa Suci Pius IX yang saat itu bertahta
di Vatikan, mendukung serta menyemangati Don Bosco. Don Bosco membalasnya dengan
kesetiaannya, doa-doanya, nasehat-nasehatnya, bahkan pesan-pesan mistiknya,
antara lain tentang pertobatan Inggris seperti yang dilihat oleh Dominikus Savio dalam suatu penglihatan.
Ia amat menghormati Bapa Suci.
Pada tahun 1867 Paus Pius IX sempat marah
kepada Don Bosco karena Don Bosco menganggap remeh mimpi-mimpi serta
penglihatan-penglihatannya. Sembilan tahun sebelumnya, Bapa Suci telah
memerintahkan, “Tulislah semua mimpi dan penglihatan yang telah engkau
sampaikan kepadaku dengan teliti dan seksama.” Pius IX yakin bahwa mimpi-mimpi
Don Bosco adalah warisan serta sumber inspirasi bagi mereka yang terlibat dalam
karyanya.
Namun yang dilakukan Don Bosco hanyalah
menceritakan mimpi-mimpinya itu kepada orang-orang atau kelompok-kelompok
tertentu yang ia pikir ada hubungannya dengan mimpinya. Pada umumnya ia
menceritakannya kepada anak-anak, karena kebanyakan dari mimpi itu berkenaan
dengan mereka. Ia menggunakan mimpi-mimpinya untuk mengingatkan anak-anak untuk
senantiasa menunjukkan kelakuan serta moral yang baik. Dalam salah satu
mimpinya ia melihat anak-anak makan empat macam roti: roti yang enak, roti
biasa, roti kasar dan roti tengik. Masing-masing roti mewakili jiwa
masing-masing anak. Ia dengan senang hati akan mengatakan kepada anak-anak roti
mana yang mereka makan, dan kemudian menggunakan kesempatan itu untuk
memberikan bimbingan moral kepada mereka.
Memenuhi perintah resmi Bapa Suci, pada
akhirnya Don Bosco menulis semua mimpi dan penglihatannya dalam buku
"Dreams, Visions and Prophecies of Don Bosco".
21.
PAUS PIUS IX & PAUS LEO XIII
Paus Pius IX wafat. Beberapa hari sebelum
diadakan Konklaf, Don Bosco bertemu
dengan Kardinal Pecci. Don Bosco mencium tangannya dan berkata:
“Saya berharap dapat segera mencium kaki Eminence.” (Eminence: sebutan
kehormatan bagi Kardinal)
“Aku melarangmu untuk berdoa seperti itu.”
“Anda tidak dapat melarang saya untuk meminta kepada Tuhan apa yang saya
suka.”
“Siapa kamu yang berani berbicara seperti itu kepada saya.”
“Saya Don Bosco.”
Seperti yang telah dinubuatkan Don Bosco,
Kardinal Pecci terpilih sebagai Bapa Suci menggantikan Paus Pius IX. Ia memilih
nama Leo XIII.
22.
DON BOSCO WAFAT
Usia Don Bosco sudah hampir 70 tahun. Satu
matanya sudah tidak dapat berfungsi, sedang matanya yang lain sudah kabur. Jika
berjalan ia harus beristirahat sejenak di tongkat penyangga atau di pundak
seorang teman. Namun hal-hal demikian tidak menghalangi Don Bosco untuk pergi
ke berbagai tempat, mengunjungi biara-biara, merayakan misa di gereja-gereja.
Ke mana pun ia pergi, umat menyambutnya dengan antusias. Don Bosco
menandatangani potret, membagi-bagikan gambar-gambar kudus dan medali,
memberikan berkat dan nasehat, mendengarkan pengakuan dosa, mempertobatkan
banyak orang, melakukan mukjizat-mukjizat dan menerima banyak sumbangan untuk
kelanjutan karyanya.
Tahun 1887 Don Bosco sudah amat lemah.
Penglihatannya sudah tidak berfungsi dan kedua kakinya terlalu lemah untuk
menyangga tubuhnya.
“Engkau harus menolong Don Bosco yang sedang menghadapi ajalnya. Cepat.”
Demikianlah Uskup Cagliero diperingatkan
dalam suatu mimpi. Ia bergegas kembali ke Turin dengan membawa suatu hadiah
yang amat berharga, seorang gadis Indian kecil yang ingin menyerahkan dirinya
untuk melayani Kristus.
Don Bosco berdoa kepada Bunda Maria agar
Bunda Maria menyediakan seribu tempat di surga bagi Serikat Salesian, kemudian
ia meminta sepuluh ribu, dan kemudian seratus ribu. Bunda Maria mengabulkannya.
Dan Don Bosco meminta lagi lebih banyak tempat.
Bosco membisikkan pesan terakhirnya kepada
anak-anak yang berkumpul di sekeliling tempat tidurnya:
“Kasihilah satu sama lain seperti saudara.
Berbuatlah baik kepada semua orang dan janganlah berbuat jahat kepada siapa pun….Katakanlah
kepada anak-anak bahwa aku menanti mereka semua di Surga.”
Pada tanggal 31 Januari 1888, Yohanes
Bosco wafat dalam usia tujuh puluh dua tahun. Pada tanggal 2 Juni 1929 ia
dinyatakan sebagai Beato oleh Paus Pius XI dan pada tanggal 8 November 1933
dinyatakan sebagai Santo. Pestanya dirayakan setiap tanggal 31 Januari. Don
Bosco sudah meninggal, tetapi karyanya tetap berlanjut hingga saat ini melalui
Serikat Salesian yang dibentuknya.
“Kasihilah satu sama lain seperti saudara. Berbuatlah baik kepada semua
orang dan janganlah berbuat jahat kepada siapa pun….Katakanlah kepada anak-anak
bahwa aku menantikan mereka semua di Surga.”
Komentar
Posting Komentar